Sinopsis Ashoka Samrat, episode 329 by. Kusuma Rasmana Di hutan kecil di luar kota Pattaliputra, Ashoka dan Kaurwaki sedang
berlari mencari tempat persembunyian karena ada rombongan Jagannatha
yang sedang berderap dari jalan arah Pattaliputra mulai menyusuri hutan
itu dan menyebarkan prajuritnya. Kaurwaki menduga ayahnya dan para
prajurit Kalingga sedang mencari dirinya. Sementara seorang pembunuh
bayaran bernama Yama sedang berlari mengejar sasarannya karena yakin
calon korbannya kali ini berada di sekitar hutan tersebut. Salah seorang
prajurit Kalingga melihat Yama yang perawakannya tinggi besar dengan
wajah coreng moreng menyeramkan tengah berlari sambil menjinjing pedang
yang terhunus. Prajurit itu segera menembakan panahnya, namun panah itu
luput mengenai sasaran sehingga Yama yang tengah berlari sadar ada
seseorang yang menyerang dirinya, Yama sangat marah melihat siapa yang
menyerangnya dan langsung membunuh prajurit Kalingga itu. Kaurwaki yang
tengah berada didekat situ bersama Ashoka memekik kaget dan ketakutan
melihat prajurit dibunuh didepan matanya. Ashoka segera membekap mulut
Kaurwaki, namum pekikan itu membuat Yama si pembunuh menoleh dan melihat
calon mangsanya yaitu Ashoka bersama seorang gadis. Ashoka dan Kaurwaki
pun segera berlari dari tempat itu dan Yama mengejarnya.
Jagannatha yang sudah menyebar prajuritnya di hutan itu melihat salah
seorang prajuritnya terbunuh. Sementara Ashoka dan Kaurwaki yang
kelelahan berlari segera berhenti dibawah pohon besar. Kaurwaki berkata,
"Aku mengerti mengapa ayah datang kesini. Tapi siapa orang yang telah
membunuh prajurit itu?"
Ashoka dengan nafas tersengal karena lelah tidak punya gambaran apapun, namun ia yakin ada sesuatu yang salah. "Kita harus berpencar dari sini. Kau harus menuju ke sana!", Ashoka menunjuk ke depan, "dan aku akan ke arah lain disana", katanya menunjuk arah lainnya.
Namun Kaurwaki tidak ingin berpisah dan pergi jauh dari Ashoka. "Tidak, Ashoka, aku tidak ingin berpisah lagi, aku tidak akan bisa hidup tanpamu", kata Kaurwaki memegang tangan Ashoka. Ashoka balas memegang kedua pundaknya dan berusaha menenangkan Kaurwaki.
Ashoka berkata, "Kita akan bertemu lagi jika kita masih hidup. Tidak ada waktu atau pun musuh yang bisa memisahkan kita. Ayo, pergilah Kaurwaki!"
Kaurwaki memegang erat tangan lelaki yang dicintainya, Ashoka juga menatapnya lekat. Mereka berdua pun saling melepaskan tangan dengan perasaan berat dan sedih. Kaurwaki segera pergi dari sana dengan berlinang air mata. Namun baru beberapa langkah, Kaurwaki kaget karena didepannya Jagannatha sudah menghadangnya dari atas kuda. Kaurwaki berbalik untuk melihat Ashoka namun Ashoka bersembunyi di belakang pohon. Jagannatha segera memerintahkan prajuritnya untuk membawa Kaurwaki menuju Kalingga.
Dari tempat persembunyiannya, Ashoka berguman, "Maafkan aku, Kaurwaki. Aku tidak ingin hidupmu dalam bahaya karena aku. Kita pasti akan bertemu suatu hari nanti"
Ashoka segera meninggalkan tempat itu ke arah yang lain yang berbeda dari arah kepergian rombongan Maharaja Kalingga yang membawa Kaurwaki.
Ashoka dengan nafas tersengal karena lelah tidak punya gambaran apapun, namun ia yakin ada sesuatu yang salah. "Kita harus berpencar dari sini. Kau harus menuju ke sana!", Ashoka menunjuk ke depan, "dan aku akan ke arah lain disana", katanya menunjuk arah lainnya.
Namun Kaurwaki tidak ingin berpisah dan pergi jauh dari Ashoka. "Tidak, Ashoka, aku tidak ingin berpisah lagi, aku tidak akan bisa hidup tanpamu", kata Kaurwaki memegang tangan Ashoka. Ashoka balas memegang kedua pundaknya dan berusaha menenangkan Kaurwaki.
Ashoka berkata, "Kita akan bertemu lagi jika kita masih hidup. Tidak ada waktu atau pun musuh yang bisa memisahkan kita. Ayo, pergilah Kaurwaki!"
Kaurwaki memegang erat tangan lelaki yang dicintainya, Ashoka juga menatapnya lekat. Mereka berdua pun saling melepaskan tangan dengan perasaan berat dan sedih. Kaurwaki segera pergi dari sana dengan berlinang air mata. Namun baru beberapa langkah, Kaurwaki kaget karena didepannya Jagannatha sudah menghadangnya dari atas kuda. Kaurwaki berbalik untuk melihat Ashoka namun Ashoka bersembunyi di belakang pohon. Jagannatha segera memerintahkan prajuritnya untuk membawa Kaurwaki menuju Kalingga.
Dari tempat persembunyiannya, Ashoka berguman, "Maafkan aku, Kaurwaki. Aku tidak ingin hidupmu dalam bahaya karena aku. Kita pasti akan bertemu suatu hari nanti"
Ashoka segera meninggalkan tempat itu ke arah yang lain yang berbeda dari arah kepergian rombongan Maharaja Kalingga yang membawa Kaurwaki.
Ashoka sedang melangkah ketika seseorang menarik tangannya keluar dari
jalan itu. Hanya sejenak setelah itu, Yama sang pembunuh sampai di
tempat itu, dia mencari-cari Ashoka namun tidak menemukannya. Kembali
dia berlari menyusuri sekitar tempat itu. Sementara itu Ashoka ternyata
diselamatkan oleh Dharma dan diajak ke sebuah gua yang dianggap aman.
Ashoka senang melihat adik kecilnya yang masih bayi dalam gendongan
ibunya. Dharma memastikan semuanya sudah aman, lalu dia menyerahkan
bayinya untuk dipangku oleh Ashoka, sang kakak. Ashoka mencium kening
adiknya yang merengek kecil yang mungkin tidurnya terganggu karena
kondisi tempat itu. Ashoka yang tersadar dengan situasi barusan,
berkata, "Mengapa Ibu datang menyusulku? Aku sudah diusir dan tidak
punya pilihan lain. Mengapa ibu tidak memikirkan tentang adikku ini?
Mengapa ibu meninggalkan ayah?"
Dharma menjawab, "Aku tidak bisa hidup terpisah darimu di istana, jadi aku meninggalkan semuanya"
Ashoka bertanya, "Bagaimana ibu bisa meninggalkan ayah begitu saja?". Ashoka yang sedang memeluk adiknya dengan sedih karena Ibu dan adiknya harus ikut susah di luar istana sekarang. Saat itulah dia melihat tanda bekas alas kaki di pakaian ibunya, di bawah pinggang.
"Ibu... " tanya Ashoka dengan nada marah, "Apakah Samrat berhati begitu rendah sehingga dia menendang ibu keluar juga?"
Dharma membantah kata-kata Ashoka. "Tidak, Nak, ini adalah keputusanku"
Ashoka menuntut dan ingin tahu siapa yang melakukan itu. "Ibu selalu berbicara kebenaran. Mengapa ibu ragu-ragu hari ini?", tanya Ashoka, "Ayolah, Bu! Mengapa ibu tidak jujur sekarang? siapa yang melakukan ini?".
Akhirnya Dharma menyebut nama Sushima yang membuat Ashoka marah. "Sushima!!!", teriak Ashoka, "Kau telah memanggil kematian dengan melakukan hal ini. Mengapa ibu tidak membalas?"
Dharma menjawab, "Aku takut, Nak. Aku pergi dari istana ketika mereka semua mengepungku". Dharma pun menceritakan semua kejadian di koridor istana kepada Ashoka.
Ashoka marah besar mendengar kejadian yang dialami ibunya. Dia segera menyerahkan adik bayinya kepada ibunya dan bergegas keluar. Dharma sedih melihatnya, dia segera manggil Ashoka dan mengikuti keluar gua.
Ashoka terus melangkah lebar menyusuri rerumputan dan hutan kecil itu hendak kembali ke istana membalaskan kelakuan Sushima. Dharma mengikuti dan berusaha menenangkan amarahnya. "Aku bersumpah! Aku akan memotong kaki Sushima yang telah menyakiti ibuku. Ashoka putra Dharma tidak akan membiarkan penghinaan kepada ibunya. Bukan hanya Sushima, tapi semua orang di istana itu harus menerima hukuman! Ini akan jadi peringatan bagi mereka", kata Ashoka marah. Sementara itu itu tanpa disadari Ashoka dan Dharma, Yama sang pembunuh tengah mengejarnya juga.
Dharma menghalangi langkah Ashoka dan menyuruh dia tenang dan meredakan kemarahannya. Dia minta Ashoka menunggu waktu yang tepat bila ingin memberi pelajaran kepada orang yang telah menyakitinya.
Ashoka yang tengah murka menyahut, "Setiap orang, termasuk ibu dan Acharya Chanakya sering berbicara tentang waktu yang tepat..waktu yang tepat. Tapi kapan ada waktu yang tepat?. Sekaranglah menjadi waktu yang tepat itu!". Ashoka bersikeras ingin pergi namun Dharma terus menghalangi. Bahkan adik bayinya ikut memegang kalung di leher kakaknya seakan ikut melarang kakaknya pergi melampiaskan dendamnya, namun Ashoka tetap marah.
Dalam kekalutan hatinya, Dharma berjongkok di depan Ashoka dan meminta Ashoka agar membunuh dirinya dan bayinya dulu. "Kalau kau memang ingin membunuh seseorang, Kau harus melihat ibu dan adikmu mati dulu jika kau ingin pergi sekarang!"
Ashoka berkata, "Apa yang ibu lakukan? Tidak, Bu. Ibu tidak bisa melakukan ini kepadaku. Aku akan mati dengan cara ini karena ibu membuatku lemah dengan merampas kekuatan dariku"
Dharma berdiri dan meminta Ashoka berjanji. "Kau tidak akan pernah melangkahkan kakimu di Pattaliputra hingga aku memberimu izin", kata Dharma. "Kau harus berjanji pada adikmu", katanya menempelkan tangan Ashoka ke kepala bayinya.
Ashoka melangkah menjauh, dia berkata "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan membenci ibu juga. Ibu telah membuatku lemah!"
Ashoka akhirnya bersumpah sambil memegang kepala adiknya akan menuruti kemauan ibunya, tapi... "Ingat, ibu memang menyelamatkan anak bungsu ibu hari ini, tapi mulai sekarang ibu kehilangan anak sulung!". Dharma kaget mendengar perkataan Ashoka, yang terus menatapnya tajam.
Ashoka tersadar ada seorang tinggi besar dengan wajah seram dan pedang telanjang tengah berlari menuju tempat itu. Dia segera berlari sambil menuntun ibunya, matanya mencari-cari dimana tempat yang bisa dipakai bersembunyi. Tanpa disadari, Ashoka menuntunnya menuju pinggir tebing. Dharma yang mengetahui jurang menganga didepannya segera menarik Ashoka agar tidak terpeleset jatuh.
Ashoka dan Dharma menjadi tersudut di pinggir tebing karena Yama sang pembunuh sudah sampai didepan mereka dengan pedang panjang terhunus. Dharma menatap Ashoka seakan bertanya. Yama tersenyum sumringah karena mangsanya saat ini sedang tersudut dan tidak mungkin lolos lagi.
Dharma menjawab, "Aku tidak bisa hidup terpisah darimu di istana, jadi aku meninggalkan semuanya"
Ashoka bertanya, "Bagaimana ibu bisa meninggalkan ayah begitu saja?". Ashoka yang sedang memeluk adiknya dengan sedih karena Ibu dan adiknya harus ikut susah di luar istana sekarang. Saat itulah dia melihat tanda bekas alas kaki di pakaian ibunya, di bawah pinggang.
"Ibu... " tanya Ashoka dengan nada marah, "Apakah Samrat berhati begitu rendah sehingga dia menendang ibu keluar juga?"
Dharma membantah kata-kata Ashoka. "Tidak, Nak, ini adalah keputusanku"
Ashoka menuntut dan ingin tahu siapa yang melakukan itu. "Ibu selalu berbicara kebenaran. Mengapa ibu ragu-ragu hari ini?", tanya Ashoka, "Ayolah, Bu! Mengapa ibu tidak jujur sekarang? siapa yang melakukan ini?".
Akhirnya Dharma menyebut nama Sushima yang membuat Ashoka marah. "Sushima!!!", teriak Ashoka, "Kau telah memanggil kematian dengan melakukan hal ini. Mengapa ibu tidak membalas?"
Dharma menjawab, "Aku takut, Nak. Aku pergi dari istana ketika mereka semua mengepungku". Dharma pun menceritakan semua kejadian di koridor istana kepada Ashoka.
Ashoka marah besar mendengar kejadian yang dialami ibunya. Dia segera menyerahkan adik bayinya kepada ibunya dan bergegas keluar. Dharma sedih melihatnya, dia segera manggil Ashoka dan mengikuti keluar gua.
Ashoka terus melangkah lebar menyusuri rerumputan dan hutan kecil itu hendak kembali ke istana membalaskan kelakuan Sushima. Dharma mengikuti dan berusaha menenangkan amarahnya. "Aku bersumpah! Aku akan memotong kaki Sushima yang telah menyakiti ibuku. Ashoka putra Dharma tidak akan membiarkan penghinaan kepada ibunya. Bukan hanya Sushima, tapi semua orang di istana itu harus menerima hukuman! Ini akan jadi peringatan bagi mereka", kata Ashoka marah. Sementara itu itu tanpa disadari Ashoka dan Dharma, Yama sang pembunuh tengah mengejarnya juga.
Dharma menghalangi langkah Ashoka dan menyuruh dia tenang dan meredakan kemarahannya. Dia minta Ashoka menunggu waktu yang tepat bila ingin memberi pelajaran kepada orang yang telah menyakitinya.
Ashoka yang tengah murka menyahut, "Setiap orang, termasuk ibu dan Acharya Chanakya sering berbicara tentang waktu yang tepat..waktu yang tepat. Tapi kapan ada waktu yang tepat?. Sekaranglah menjadi waktu yang tepat itu!". Ashoka bersikeras ingin pergi namun Dharma terus menghalangi. Bahkan adik bayinya ikut memegang kalung di leher kakaknya seakan ikut melarang kakaknya pergi melampiaskan dendamnya, namun Ashoka tetap marah.
Dalam kekalutan hatinya, Dharma berjongkok di depan Ashoka dan meminta Ashoka agar membunuh dirinya dan bayinya dulu. "Kalau kau memang ingin membunuh seseorang, Kau harus melihat ibu dan adikmu mati dulu jika kau ingin pergi sekarang!"
Ashoka berkata, "Apa yang ibu lakukan? Tidak, Bu. Ibu tidak bisa melakukan ini kepadaku. Aku akan mati dengan cara ini karena ibu membuatku lemah dengan merampas kekuatan dariku"
Dharma berdiri dan meminta Ashoka berjanji. "Kau tidak akan pernah melangkahkan kakimu di Pattaliputra hingga aku memberimu izin", kata Dharma. "Kau harus berjanji pada adikmu", katanya menempelkan tangan Ashoka ke kepala bayinya.
Ashoka melangkah menjauh, dia berkata "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan membenci ibu juga. Ibu telah membuatku lemah!"
Ashoka akhirnya bersumpah sambil memegang kepala adiknya akan menuruti kemauan ibunya, tapi... "Ingat, ibu memang menyelamatkan anak bungsu ibu hari ini, tapi mulai sekarang ibu kehilangan anak sulung!". Dharma kaget mendengar perkataan Ashoka, yang terus menatapnya tajam.
Ashoka tersadar ada seorang tinggi besar dengan wajah seram dan pedang telanjang tengah berlari menuju tempat itu. Dia segera berlari sambil menuntun ibunya, matanya mencari-cari dimana tempat yang bisa dipakai bersembunyi. Tanpa disadari, Ashoka menuntunnya menuju pinggir tebing. Dharma yang mengetahui jurang menganga didepannya segera menarik Ashoka agar tidak terpeleset jatuh.
Ashoka dan Dharma menjadi tersudut di pinggir tebing karena Yama sang pembunuh sudah sampai didepan mereka dengan pedang panjang terhunus. Dharma menatap Ashoka seakan bertanya. Yama tersenyum sumringah karena mangsanya saat ini sedang tersudut dan tidak mungkin lolos lagi.
Ashoka memegang tangan ibunya, "Kita
tidak punya pilihan lain sekarang!", kata Ashoka. Dia pun berlari ke
arah jurang dalam itu sambil menuntun tangan ibunya. Mereka melompat
dari tebing dengan jurang yang dalam itu. Yama melihatnya kaget dan
takjub dengan keberanian korbannya itu. Namun dia yakin korbannya itu
pasti mati karena berani melompat ke jurang yang sangat dalam itu.
Di istana Pattaliputra, Sushima senang mendapat laporan dari Yama sang
pembunuh. Dia membayar Yama dengan kepingan koin didalam kantong besar.
Sushima tersenyum senang dengan perasaan lega. "Semua dari mereka sudah
mati sekarang! Sekarang, Ashoka sudah keluar dari hidupku untuk
selama-lamanya!", kata Sushima gembira.
Di istana Kalingga, Kaurwaki menolak untuk percaya kabar tentang kematian Ashoka dan Dharma yang disampaikan oleh ibunya.
Ibunya berkata, "Ini kebenaran! Tidak satupun dari mereka, Ashoka, Dharma dan bayinya yang tersisa masih hidup. Samrat Magadha, Bindushara sendiri telah membuat pengumuman itu secara resmi".
Kaurwaki manangis sambil terisak, ibunya ikut sedih. "Ya, seperti pengumuman yang pernah dibuat di masa lalu juga. Samrat Magadha juga telah mengumumkan sebelumnya bahwa Ashoka sudah tidak ada lagi, tapi ternyata dia masih hidup. Dan sekarang pasti akan sama, dia tidak mungkin mati. Dia tidak bisa meninggalkan aku sendirian", kata Kaurwaki sedih. Namun kesedihannya mulai reda dan perasaannya lega melihat diya khusus yang diletakkan dekat lingga Shiwa di kamarnya itu masih menyala. "Diya ini adalah untuk Ashoka. Selama diya ini tidak padam, Ashoka tidak bisa mati. Aku akan menunggu sampai dia datang kembali. Cinta kami akan tetap hidup, suatu hari kami pasti akan bertemu!", kata Kaurwaki berusaha meredakan sedihnya sambil bertimpuh didepan diya.
Ibunya berkata, "Ini kebenaran! Tidak satupun dari mereka, Ashoka, Dharma dan bayinya yang tersisa masih hidup. Samrat Magadha, Bindushara sendiri telah membuat pengumuman itu secara resmi".
Kaurwaki manangis sambil terisak, ibunya ikut sedih. "Ya, seperti pengumuman yang pernah dibuat di masa lalu juga. Samrat Magadha juga telah mengumumkan sebelumnya bahwa Ashoka sudah tidak ada lagi, tapi ternyata dia masih hidup. Dan sekarang pasti akan sama, dia tidak mungkin mati. Dia tidak bisa meninggalkan aku sendirian", kata Kaurwaki sedih. Namun kesedihannya mulai reda dan perasaannya lega melihat diya khusus yang diletakkan dekat lingga Shiwa di kamarnya itu masih menyala. "Diya ini adalah untuk Ashoka. Selama diya ini tidak padam, Ashoka tidak bisa mati. Aku akan menunggu sampai dia datang kembali. Cinta kami akan tetap hidup, suatu hari kami pasti akan bertemu!", kata Kaurwaki berusaha meredakan sedihnya sambil bertimpuh didepan diya.
Di sebuah
tempat, di sungai kecil yang dangkal, Ashoka tersadar diatas sebuah
batu. Tidak jauh dari tempatnya, Dharma dan bayinya masih pingsan diatas
karang sungai yang airnya tak seberapa deras itu. Ashoka bangun dan
memeriksa urat nadi ibunya. "Syukurlah, ibu masih hidup dan begitu juga
adik bayi kecilku ini". Ashoka membiarkan ibu dan adiknya tidak sadar
dulu, karena karang yang ditempati cukup nyaman seperti tempat tidur.
Ashoka melangkah diatas bebatuan sambil membatin (dalam adegan monolog).
"Dikatakan bahwa waktu akan menyembuhkan luka, tapi apakah itu benar? Luka bathin akan sembuh ketika Anda berharap demikian. Bukan hanya waktu, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisi waktu itulah yang menyembuhkan luka. Itulah semua terjadi kepada kami. Aku telah bersumpah tidak akan pernah membiarkan lukaku menghilang tak berbekas! Rasa sakit dari luka itu akan mengingatkanku kepada semua yang telah direbut dariku di Pattaliputra. Kehormatanku, hakku, dan impianku!"
Ashoka memungut sepotong batu yang runcing dan menorehkan monolog-nya pada dinding tebing cadas didepannya.
"Aku akan datang kembali sebagai Yama (Dewa Kematian) untuk menghukum pembunuh Guruku. Aku akan kembali untuk memenuhi impian ibuku, untuk membayar gurudakshina kepada Guruku, untuk memenuhi sumpahku akan Akhanda Bharatya (persatuan India)!", demikian isi tulisan yang ditorehkan di dinding tebing.
Ashoka melangkah diatas bebatuan sambil membatin (dalam adegan monolog).
"Dikatakan bahwa waktu akan menyembuhkan luka, tapi apakah itu benar? Luka bathin akan sembuh ketika Anda berharap demikian. Bukan hanya waktu, tapi apa yang kita lakukan dalam mengisi waktu itulah yang menyembuhkan luka. Itulah semua terjadi kepada kami. Aku telah bersumpah tidak akan pernah membiarkan lukaku menghilang tak berbekas! Rasa sakit dari luka itu akan mengingatkanku kepada semua yang telah direbut dariku di Pattaliputra. Kehormatanku, hakku, dan impianku!"
Ashoka memungut sepotong batu yang runcing dan menorehkan monolog-nya pada dinding tebing cadas didepannya.
"Aku akan datang kembali sebagai Yama (Dewa Kematian) untuk menghukum pembunuh Guruku. Aku akan kembali untuk memenuhi impian ibuku, untuk membayar gurudakshina kepada Guruku, untuk memenuhi sumpahku akan Akhanda Bharatya (persatuan India)!", demikian isi tulisan yang ditorehkan di dinding tebing.
Suatu malam, di sebuah tempat dekat
istana Magadha, Pattaliputra, Mahamatya, Sushima, Siamak, dan
Charumitra sedang membuka peti mati Helena, setelah terlebih dulu
menggali tanah yang menimbunnya. Begitu peti dibuka, Helena membuka
matanya dan mendelik yang membuat Khalatak kaget. Helena mulai bernafas
lega karena sebelumnya dadanya terasa sesak. Siamak merasa senang
melihat neneknya masih hidup. Melihat Mahamatya dan yang lain malah
bengong, Helena berteriak minta keluar. Sushima dan Mahamatya lalu
menariknya keluar dari liang itu dengan aman.
Kilas balik menampilkan, Helena yang di sel penjara berbagi rencana dengan Charumitra. "Ashoka akan tersingkir dari istana dan keluar dari hidup kita. Sushima dan Siamak akan aman". Charumitra setuju dan sepakat mendukung rencananya. Dari dalam selnya, Helena menunjukkan ramuan herbal Yunani kepada Charumitra. "Dengan ramuan ini detak jantung seseorang bisa dibuat selemah mungkin sehingga orang akan dinyatakan mati. Aturlah peti mati untukku di mana ada lubang untukku bernapas", kata Helena menjelaskan, kilas balik berakhir.
Helena berkata senang, "Pengorbananku telah terbayar!"
Sushima sependapat dengan perkataan Helena. "Ashoka, Dharma, dan adiknya telah mati!", kata Sushima.
Dalam kilas balik ditampilkan Ashoka dan Dharma yang menggendong bayinya melompat dari atas tebing yang curam.
Helena tertawa senang, "Rencanaku berhasil! Dan Aku ingin melihat jasad mereka".
Semua orang yang ada disitu mendadak diam, suasana menjadi hening, Helena memperhatikan mereka yang hadir satu persatu, perasaannya mulai tidak enak. Sushima menggelengkan kepalanya seakan mengatakan tidak ada mayat apapun sebagai bukti mereka benar-benar sudah mati. Helena menjadi sangat kecewa.
Helena berkata, "Aku tidak percaya mereka sudah mati sampai aku melihat jasad mereka dengan mataku sendiri! Kematian sudah sering membenci Ashoka, itulah mengapa maut tidak pernah mengambil nyawanya. Dia sudah menang atas maut berkali-kali. Kalian mungkin tidak percaya, tapi aku percaya dia akan kembali dengan lebih kuat dan semakin marah! Dan aku yakin dia tidak mati. Kita akan menunggunya, mungkin 2 tahun, 5 tahun, atau bahkan 10 tahun, tapi dia pasti akan kembali!"
Kilas balik menampilkan, Helena yang di sel penjara berbagi rencana dengan Charumitra. "Ashoka akan tersingkir dari istana dan keluar dari hidup kita. Sushima dan Siamak akan aman". Charumitra setuju dan sepakat mendukung rencananya. Dari dalam selnya, Helena menunjukkan ramuan herbal Yunani kepada Charumitra. "Dengan ramuan ini detak jantung seseorang bisa dibuat selemah mungkin sehingga orang akan dinyatakan mati. Aturlah peti mati untukku di mana ada lubang untukku bernapas", kata Helena menjelaskan, kilas balik berakhir.
Helena berkata senang, "Pengorbananku telah terbayar!"
Sushima sependapat dengan perkataan Helena. "Ashoka, Dharma, dan adiknya telah mati!", kata Sushima.
Dalam kilas balik ditampilkan Ashoka dan Dharma yang menggendong bayinya melompat dari atas tebing yang curam.
Helena tertawa senang, "Rencanaku berhasil! Dan Aku ingin melihat jasad mereka".
Semua orang yang ada disitu mendadak diam, suasana menjadi hening, Helena memperhatikan mereka yang hadir satu persatu, perasaannya mulai tidak enak. Sushima menggelengkan kepalanya seakan mengatakan tidak ada mayat apapun sebagai bukti mereka benar-benar sudah mati. Helena menjadi sangat kecewa.
Helena berkata, "Aku tidak percaya mereka sudah mati sampai aku melihat jasad mereka dengan mataku sendiri! Kematian sudah sering membenci Ashoka, itulah mengapa maut tidak pernah mengambil nyawanya. Dia sudah menang atas maut berkali-kali. Kalian mungkin tidak percaya, tapi aku percaya dia akan kembali dengan lebih kuat dan semakin marah! Dan aku yakin dia tidak mati. Kita akan menunggunya, mungkin 2 tahun, 5 tahun, atau bahkan 10 tahun, tapi dia pasti akan kembali!"
Roda waktu berputar cepat, sepuluh tahun kemudian....
Di suatu tempat di bukit tandus berbatu-batu tampak beberapa orang
pekerja menggali batu-batu dari dinding gunung atau tebing yang sangat
dalam. Karena dalamnya tebing itu para pekerja itu melakukan pekerjaan
dengan bergantungan pada tali pengaman. Sebagian lagi para pekerja
lainnya bertugas menarik batu-batu yang sudah digali dengan jaring tali
ke atas tebing. Beberapa pekerja lainnya memecahkan batu-batu itu dengan
peralatannya. Bukan hanya lelaki, para perempuan pun ikut melakukan
pekerjaan berat itu. Beberapa pekerja setelah bersusah payah menarik
batu besar, namun ketika ia membuka jaring, batu besar itu malah
menggelinding dan jatuh ke bawah jurang. Seorang yang berpakaian berbeda
dari pekerja dan tampaknya menjadi pengawas yang berkuasa atas para
pekerja marah atas kejadian itu. Mandor atau pengawas itu memberi
hukuman cambuk 5 kali bagi pekerja yang dianggap ceroboh itu. "Ini
menyia-nyiakan waktu dan tenaga 5 orang!", kata sang Mandor. Pekerja
yang bernasib sial itu memohon ampun atas kesalahannya, hingga sang
mandor pergi. Di bagian lainnya, seorang ibu yang tengah memecahkan
batu, harus menghentikan kegiatannya karena bayinya yang tertidur tidak
jauh darinya terbangun dan menangis. Ia pun segera mengurus bayinya dan
menenangkannya dengan menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah ayah si bayi
yang sedang melangkah sambil memikul sebongkah batu besar. Sang ayah pun
menghentikan langkahnya untuk bercanda dengan bayinya dan membuat
bayinya lebih tenang. Tingkah polah sang ayah yang bercanda dengan
anaknya membuat Mandor yang melihatnya tidak senang.
Sang Mandor berkata keras, "Kita harus menyelesaikan pekerjaan ini dalam waktu seminggu atau kalian semua akan dihukum!". Mandor menegaskan semua pekerja harus bergegas menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerja itu heran dengan kelakuan penguasa yang memaksa mereka para pekerja untuk bekerja keras, sementara para penguasa enak-enakan dan hanya sibuk membangun istana pribadi di gunung. Mereka harus menyeberangi sebuah jembatan untuk memindahkan batu dari satu tebing ke tebing yang lain. Pekerja tadi menunggu beberapa pekerja lain selesai menyebrangi jembatan karena dia yakin jembatan gantung itu tidak cukup kuat diseberangi banyak orang. Namun seorang Mandor memaksa pekerja yang memikul batu besar untuk tetap maju menyebrang.
Pekerja itu berkata, "Sudah ada banyak orang di jembatan itu dengan batu berat, Tuan. Jika aku ikut juga, jembatan ini bisa putus". Namun alasan itu membuat sang Mandor marah memukulkan cambuknya dan mendesaknya agar segera maju, apalagi pekerja lain sudah antri di belakang.
Akhirnya dengan berat hati pekerja itu maju dan menyebrangi jembatan gantung itu, disusul juga oleh pekerja lainnya di belakang. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba tali pengaman jembatan mulai putus, sejenak kemudian jembatan gantung itu putus menjadi dua bagian, diiringi teriakan ketakutan para pekerja yang sedang menyebrang itu. Bagian jembatan yang putus masing-masing jatuh menjuntai ke arah bibir jurang. Para pekerja yang sedang menyebrang segera berpegangan, berusaha menyelamatkan diri agar tidak jatuh ke dasar jurang, tanpa peduli lagi dengan beban bawaannya. Pekerja lain yang ada diatas tebing berteriak dan berhamburan ke bibir tebing. Mereka semua menangis dan mengkhawatirkan suami atau keluarga masing-masing yang sedang berjuang demi nyawanya dengan bergantungan pada lantai jembatan. Seorang ibu yang membawa bayinya menangis dan berteriak, "Suamiku juga ada disana, tolong dia!"
Namun tidak seorang pun berani melakukan tindakan penyelamatan apapun bagi teman-teman mereka yang terjebak itu. Seorang lelaki menjawab pasrah, "Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka sekarang"
Namun salah seorang lelaki lainnya berkata, "Aku tahu yang bisa melakukan itu, ada satu orang yang menghadapi masalah besar menganggapnya hanya permainan saja. Kematian terlalu takut kepadanya. Amarah di matanya bisa melelehkan batu! Kata-katanya sangat beracun, namun racun itu terasa manis, karena hatinya baik".
Adegan menampilkan di tempat lain, seorang perawakan tinggi berbadan gempal sedang mengayunkan palunya memecahkan batu-batu besar yang ada didepannya.
Seorang lainnya tahu, bahwa orang tadi berbicara mengenai orang yang bernama Chanda. "Bagaimana dia bisa menyelamatkan kita? Dia itu egois", katanya.
Namun sang Mandor menyahut, "Dia akan melakukannya jika kita membayarnya sebagai imbalan".
Sang Mandor berkata keras, "Kita harus menyelesaikan pekerjaan ini dalam waktu seminggu atau kalian semua akan dihukum!". Mandor menegaskan semua pekerja harus bergegas menyelesaikan pekerjaannya.
Pekerja itu heran dengan kelakuan penguasa yang memaksa mereka para pekerja untuk bekerja keras, sementara para penguasa enak-enakan dan hanya sibuk membangun istana pribadi di gunung. Mereka harus menyeberangi sebuah jembatan untuk memindahkan batu dari satu tebing ke tebing yang lain. Pekerja tadi menunggu beberapa pekerja lain selesai menyebrangi jembatan karena dia yakin jembatan gantung itu tidak cukup kuat diseberangi banyak orang. Namun seorang Mandor memaksa pekerja yang memikul batu besar untuk tetap maju menyebrang.
Pekerja itu berkata, "Sudah ada banyak orang di jembatan itu dengan batu berat, Tuan. Jika aku ikut juga, jembatan ini bisa putus". Namun alasan itu membuat sang Mandor marah memukulkan cambuknya dan mendesaknya agar segera maju, apalagi pekerja lain sudah antri di belakang.
Akhirnya dengan berat hati pekerja itu maju dan menyebrangi jembatan gantung itu, disusul juga oleh pekerja lainnya di belakang. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba tali pengaman jembatan mulai putus, sejenak kemudian jembatan gantung itu putus menjadi dua bagian, diiringi teriakan ketakutan para pekerja yang sedang menyebrang itu. Bagian jembatan yang putus masing-masing jatuh menjuntai ke arah bibir jurang. Para pekerja yang sedang menyebrang segera berpegangan, berusaha menyelamatkan diri agar tidak jatuh ke dasar jurang, tanpa peduli lagi dengan beban bawaannya. Pekerja lain yang ada diatas tebing berteriak dan berhamburan ke bibir tebing. Mereka semua menangis dan mengkhawatirkan suami atau keluarga masing-masing yang sedang berjuang demi nyawanya dengan bergantungan pada lantai jembatan. Seorang ibu yang membawa bayinya menangis dan berteriak, "Suamiku juga ada disana, tolong dia!"
Namun tidak seorang pun berani melakukan tindakan penyelamatan apapun bagi teman-teman mereka yang terjebak itu. Seorang lelaki menjawab pasrah, "Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka sekarang"
Namun salah seorang lelaki lainnya berkata, "Aku tahu yang bisa melakukan itu, ada satu orang yang menghadapi masalah besar menganggapnya hanya permainan saja. Kematian terlalu takut kepadanya. Amarah di matanya bisa melelehkan batu! Kata-katanya sangat beracun, namun racun itu terasa manis, karena hatinya baik".
Adegan menampilkan di tempat lain, seorang perawakan tinggi berbadan gempal sedang mengayunkan palunya memecahkan batu-batu besar yang ada didepannya.
Seorang lainnya tahu, bahwa orang tadi berbicara mengenai orang yang bernama Chanda. "Bagaimana dia bisa menyelamatkan kita? Dia itu egois", katanya.
Namun sang Mandor menyahut, "Dia akan melakukannya jika kita membayarnya sebagai imbalan".
Perempuan yang menggendong bayinya dan sangat mengkhawatirkan nasib
suaminya itu segera bergegas menuju tempat Chanda, orang yang
dibicarakan untuk meminta bantuan.
Tidak jauh dari tempat itu disebuah tempat yang penuh batu-batu besar, pria gempal bernama Candha sibuk memukulkan palu besarnya memecahkan batu-batu besar itu agar menjadi bongkahan kecil. Disampingnya banyak berserakan pecahan-pecahan batu hasil kerja kerasnya. Tubuhnya berkeringat ditimpa terik mentari siang. Disampingnya, seorang pria yang jadi Mandor hanya duduk di sebuah batu sibuk mengoceh.
Wanita yang membawa bayi tiba di tempat itu, dia terduduk dengan nafas tersengal setelah berlari, bayinya mulai menangis keras. Dengan bertimpuh wanita itu menceritakan kejadian di jembatan. Dia memohon bantuan kepada Chanda untuk menyelamatkan pekerja yang sedang menghadapi musibah. Namun Chanda hanya diam, mendengar permohonan itu. Dia terus melakukan pekerjaannya mengayunkan palunya. Chanda hanya menjawab, "Om Namah Shiwaya!". "Semoga Dia (Tuhan) memberi keajaiban dan menyelamatkan orang-orang itu. Mereka yang pasrah yang menganggap kehidupan dan kematian adalah sama", kata Chanda berdoa.
Mandor berkata kepada wanita yang membawa bayi itu, "Bahkan batu bisa meleleh tapi tidak dengan Chanda ini".
Tidak jauh dari tempat itu disebuah tempat yang penuh batu-batu besar, pria gempal bernama Candha sibuk memukulkan palu besarnya memecahkan batu-batu besar itu agar menjadi bongkahan kecil. Disampingnya banyak berserakan pecahan-pecahan batu hasil kerja kerasnya. Tubuhnya berkeringat ditimpa terik mentari siang. Disampingnya, seorang pria yang jadi Mandor hanya duduk di sebuah batu sibuk mengoceh.
Wanita yang membawa bayi tiba di tempat itu, dia terduduk dengan nafas tersengal setelah berlari, bayinya mulai menangis keras. Dengan bertimpuh wanita itu menceritakan kejadian di jembatan. Dia memohon bantuan kepada Chanda untuk menyelamatkan pekerja yang sedang menghadapi musibah. Namun Chanda hanya diam, mendengar permohonan itu. Dia terus melakukan pekerjaannya mengayunkan palunya. Chanda hanya menjawab, "Om Namah Shiwaya!". "Semoga Dia (Tuhan) memberi keajaiban dan menyelamatkan orang-orang itu. Mereka yang pasrah yang menganggap kehidupan dan kematian adalah sama", kata Chanda berdoa.
Mandor berkata kepada wanita yang membawa bayi itu, "Bahkan batu bisa meleleh tapi tidak dengan Chanda ini".
Beberapa lelaki para pekerja juga berdatangan meminta bantuan Chanda,
mereka semua memohon kemurahan hati yang beku itu. Mereka semua berjanji
memberikan semua milik mereka sebagai imbalan. Namun Chanda tak
bergeming, dia terus mengayunkan palunya.
Akhirnya wanita itu meletakkan bayinya yang terus menangis di tanah dekat Chanda dan berkata, "Anakku tidak berdosa akan apapun, sekarang kau membiarkan ayah anak ini mati dan anakku menjadi yatim. Mengapa anak ini harus menjadi yatim? Apa salah dan dosa anak ini?".
Mendengar ratapan wanita itu, Ashoka menghentikan ayunan palunya, wajahnya merah padam dan tubuhnya bergetar. Dia teringat perkataan ayahnya pada sepuluh tahun yang lalu (dalam kilas balik), "Kau akan pergi sendirian dari sini, dan anggaplah dirimu menjadi seorang yatim piatu mulai saat ini!". Ashoka terus berdiri diam dalam marahnya sambil memegang palu.
Akhirnya wanita itu meletakkan bayinya yang terus menangis di tanah dekat Chanda dan berkata, "Anakku tidak berdosa akan apapun, sekarang kau membiarkan ayah anak ini mati dan anakku menjadi yatim. Mengapa anak ini harus menjadi yatim? Apa salah dan dosa anak ini?".
Mendengar ratapan wanita itu, Ashoka menghentikan ayunan palunya, wajahnya merah padam dan tubuhnya bergetar. Dia teringat perkataan ayahnya pada sepuluh tahun yang lalu (dalam kilas balik), "Kau akan pergi sendirian dari sini, dan anggaplah dirimu menjadi seorang yatim piatu mulai saat ini!". Ashoka terus berdiri diam dalam marahnya sambil memegang palu.
CUPLIKAN : Di
halaman rumahnya, Ashoka bersikeras meminta ibunya untuk mengijinkan dia
kembali ke Pattaliputra. Dharma menolak mengijinkan Chanda / Ashoka
pergi kesana. "Aku hanya akan pergi kesana bersama putraku, bukan dengan
Chanda!". Ashoka kesal mendengar kata-kata ibunya, dia pun langsung
masuk ke kamarnya. Dharma pasrah dan berdoa kepada Tuhan. "Apa yang
telah Engkau pikirkan tentang putraku? Mohon tunjukkan aku jalan". Di sebuah arena latihan istana, Kaurwaki dewasa ditampilkan berpakaian
prajurit, dia melangkah sambil menyeret pedangnya. "Tidak ada yang bisa
menghalangi persatuan Kaurwaki dan Ashoka!", serunya. Sinopsis Ashoka Samrat, episode 330 by. Kusuma Rasmana