SINOPSIS ASHOKA episode 331 by. Kusuma Rasmana Masih di pasar yang sama, dimana Ashoka yang marah baru saja
mencegah seorang pemuda dari tindakannya yang akan membakar bendera
kerajaan. Dia juga berbicara memberi pengertian mengapa ia melarang
tindakan tersebut.
Pemuda yang hendak membakar bendera merasa bersalah dan meminta maaf kepada Ashoka. "Aku akan selalu menghargai bendera dan rajya kita sekarang. Aku akan selalu mengingat itu", kata pemuda itu sambil memegang lehernya yang sakit setelah roboh karena tendangan Ashoka.
Pemuda yang hendak membakar bendera merasa bersalah dan meminta maaf kepada Ashoka. "Aku akan selalu menghargai bendera dan rajya kita sekarang. Aku akan selalu mengingat itu", kata pemuda itu sambil memegang lehernya yang sakit setelah roboh karena tendangan Ashoka.
Ashoka mendekat dan membenarkan leher pemuda itu yang terkilir, pemuda itu pun merasa lega, karena lehernya tidak sakit lagi. Ashoka lalu pergi dari tempat itu diiringi tatapan para pemuda. Terdengar lagu Ashoka Hai Ashoka versi baru dilatar belakang dalam adegan langkahnya.
Para pemuda mengagumi tindakan Ashoka dan menyebutnya sebagai pemberontak sejati. "Namanya Chanda dan tindakannya benar-benar membenarkan hal itu. Dia memang seorang pemberontak!", kata salah seorang pemuda sambil menatap Ashoka yang berjalan menjauh.
Sementara seorang berpakaian putih yang wajahnya tersembunyi oleh beberapa anyaman keranjang rotan yang digantung, terus memata-matai Ashoka yang melangkah pergi. Dengan tongkat ditangan dan pakaian serba putih menandakan dia seorang Acharya.
"Acharya Chanakya benar! Kau dilahirkan untuk berkuasa dan memenuhi mimpinya. Semuanya telah berubah dalam 10 tahun ini termasuk dirimu, tapi cintamu kepada ibu pertiwi masih sama. Ini waktunya bagimu untuk pulang ke rumah, Ashoka!", guman Acharya itu lalu beranjak pergi.
Di sebuah rumah besar, di kota
Awantipuram, wilayah Ujjaini, seorang gadis sedang mencoba menangkap
seekor tikus yang menganggu dikamarnya. Gadis itu dengan peralatannya
mencoba menangkap tikus-tikus yang berlari kesana-kemari, dari tempat
tidur hingga keluar kamar hingga barang-barang yang ada diruangan itu
berantakan karena tindakan gadis itu. Ayah gadis itu yang sedang diluar
kamar heran dengan putrinya yang berlari sambil membawa peralatan
mengejar tikus. Ayah gadis itu adalah Seth Dhaniram sedangkan putrinya
bernama Devi. Devi berteriak saat seekor tikus memanjat ke bahu ayahnya
dan berdecit seperti mengejeknya.
Devi meminta ayahnya untuk berhenti bergerak, "Apakah dia (tikus) sudah membayar uang sewa?", tanyanya.
Dhaniram menjawab, "Baik, Aku akan menagihnya"
Devi mengomel, "Dasar tikus jahat! Bagaimana kau bisa tinggal di sini tanpa membayar uang sewa!"
Devi menatap tikus yang lari itu tanpa berbuat apapun lagi.
Dhaniram baru menyadari bahwa putrinya berbicara tentang tikus.
"Aku pikir kau berbicara mengenai Chanda itu", kata Dhaniram.
Devi menanggapi perkataan ayahnya namun sambil menuju kamarnya. Dia membereskan barang-barangnya yang berantakan setelah aksinya mengejar tikus. Ayahnya hanya mengikuti langkah putrinya tanpa ikut membantu. "Apa aku tidak punya pekerjaan lain? Aku akan mengejarnya dengan cara yang sama suatu hari. Mereka tidak membayar sewa, kan? Bagaimana usaha ini akan berjalan? Ayah menyia-nyiakan banyak uang! Ayah sering mengomel sepanjang jalan untuk menagih bayaran tapi ayah selalu bersikap sangat toleran kepada mereka", kata Devi.
Dhaniram menenangkan Devi yang menggugatnya. "Ibu Chanda adalah wanita yang sangat baik. Aku tidak bisa mengabaikan kata-katanya ketika dia bilang belum bisa memberikan uang sewa", kata Dhaniram.
Devi berkata, "Yang pasti itu, setiap air mata wanita membuat ayah meleleh. Tapi aku akan menunjukkan ekspresi marahku kepada Chanda saat meminta uang sewa. Kita akan mendapatkannya hari itu bagaimanapun caranya!". Devi memainkan alat penangkap tikus yang ujungnya bergigi tajam.
Devi meminta ayahnya untuk berhenti bergerak, "Apakah dia (tikus) sudah membayar uang sewa?", tanyanya.
Dhaniram menjawab, "Baik, Aku akan menagihnya"
Devi mengomel, "Dasar tikus jahat! Bagaimana kau bisa tinggal di sini tanpa membayar uang sewa!"
Devi menatap tikus yang lari itu tanpa berbuat apapun lagi.
Dhaniram baru menyadari bahwa putrinya berbicara tentang tikus.
"Aku pikir kau berbicara mengenai Chanda itu", kata Dhaniram.
Devi menanggapi perkataan ayahnya namun sambil menuju kamarnya. Dia membereskan barang-barangnya yang berantakan setelah aksinya mengejar tikus. Ayahnya hanya mengikuti langkah putrinya tanpa ikut membantu. "Apa aku tidak punya pekerjaan lain? Aku akan mengejarnya dengan cara yang sama suatu hari. Mereka tidak membayar sewa, kan? Bagaimana usaha ini akan berjalan? Ayah menyia-nyiakan banyak uang! Ayah sering mengomel sepanjang jalan untuk menagih bayaran tapi ayah selalu bersikap sangat toleran kepada mereka", kata Devi.
Dhaniram menenangkan Devi yang menggugatnya. "Ibu Chanda adalah wanita yang sangat baik. Aku tidak bisa mengabaikan kata-katanya ketika dia bilang belum bisa memberikan uang sewa", kata Dhaniram.
Devi berkata, "Yang pasti itu, setiap air mata wanita membuat ayah meleleh. Tapi aku akan menunjukkan ekspresi marahku kepada Chanda saat meminta uang sewa. Kita akan mendapatkannya hari itu bagaimanapun caranya!". Devi memainkan alat penangkap tikus yang ujungnya bergigi tajam.
Beberapa tuan tanah dan mandor pekerja
datang ke rumah besar yang ditempati Ashoka, adik dan ibunya. Salah
satunya adalah mandor Ashoka yang lengan kanannya dibalut perban. Mereka
berteriak-teriak memanggil Chanda. Dhaniram dan Devi keluar dari
kamarnya dan melihat kejadian itu dari balkon lantai atas. Adik Ashoka
yang sedang bermain di halaman segera bersembunyi dibalik pilar,
sementara ibunya, Dharma segera keluar menemui para tuan tanah dan
mandor itu.
"Chanda tidak ada dirumah, apa ada pesan untuknya?", tanya Dharma setelah mengetahui maksud kedatangan orang-orang itu.
Mandor Ashoka yang bertubuh pendek menjawab, "Pesan?", sang mandor itu tertawa, namun meringis karena kesakitan pada lengan kanannya yang diperban, "Dia telah memukuli kami padahal kami sudah melakukan hal baik baginya". Dia terus mengoceh seperti bergumam pada dirinya sendiri. Sekali lagi mandor itu menyebut Chanda dengan mengeluh lalu pergi bersama teman-temannya.
Dharma menatap kepergian orang-orang itu dan berpikir Ashoka pasti telah mengambil uang dari para pekerja.
"Hari ini aku akan melihatnya! Ya, Tuhan..., Anakku bukan Ashoka lagi, melainkan sudah menjadi Chanda (kejam)!", guman Dharma mengeluh. Dari lantai atas, Devi bingung mendengar gumanan itu. "Ashoka? Siapa Ashoka yang dibicarakan oleh bibi?", tanyanya berguman. Bibi yang dimaksud oleh Devi adalah Dharma.
"Chanda tidak ada dirumah, apa ada pesan untuknya?", tanya Dharma setelah mengetahui maksud kedatangan orang-orang itu.
Mandor Ashoka yang bertubuh pendek menjawab, "Pesan?", sang mandor itu tertawa, namun meringis karena kesakitan pada lengan kanannya yang diperban, "Dia telah memukuli kami padahal kami sudah melakukan hal baik baginya". Dia terus mengoceh seperti bergumam pada dirinya sendiri. Sekali lagi mandor itu menyebut Chanda dengan mengeluh lalu pergi bersama teman-temannya.
Dharma menatap kepergian orang-orang itu dan berpikir Ashoka pasti telah mengambil uang dari para pekerja.
"Hari ini aku akan melihatnya! Ya, Tuhan..., Anakku bukan Ashoka lagi, melainkan sudah menjadi Chanda (kejam)!", guman Dharma mengeluh. Dari lantai atas, Devi bingung mendengar gumanan itu. "Ashoka? Siapa Ashoka yang dibicarakan oleh bibi?", tanyanya berguman. Bibi yang dimaksud oleh Devi adalah Dharma.
Ashoka datang ke rumah itu, dia mengetuk
pintu halaman luar beberapa kali, namun tidak ada jawaban. "Mengapa
pintunya dikunci?", teriak Ashoka dari luar. Adik Ashoka yang bernama
Witashoka itu bermaksud membukakan pintu, namun ibunya memberi isyarat
melarangnya. Witashoka akhirnya menjawab, "Ini waktu yang salah, Kak".
Dharma berkata kepada putra bungsunya, "Beritahu kakakmu, pintu itu tidak akan pernah terbuka untuknya sekarang". Witashoka memberitahukan hal itu kepada kakaknya dan Ashoka yang mendengarnya setuju lalu pergi.
Witashoka tampak khawatir, "Bu, kakak mau pergi kemana?". Namun Dharma tidak menjawab, dia malah hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Sejenak kemudian Dharma kaget karena melalui lompatan tinggi melewati pagar dinding, Ashoka sudah muncul di halaman. Dharma hanya diam mematung melihat Ashoka ada disitu. Sementara tanpa disadari oleh Dharma, Devi dan Dhaniram terus melihat keluarga itu dari lantai atas.
Witashoka tersenyum bahagia, "Aku takut bahwa kakak mungkin pergi lagi ke suatu tempat dalam kemarahan".
Ashoka menjawab, "Itu tidak akan pernah terjadi!". Dia memberikan mainan gasing untuk adiknya yang membuatnya tambah bahagia.
Ashoka melirik wajah ibunya yang marah. "Ibu bilang pintu tidak akan terbuka untukku, jadi aku mematuhi dengan tidak masuk melalui pintu", kata Ashoka kepada adiknya.
Sang adik menjawab, "Guru (maksudnya kakak Ashoka) sering berkata, saat satu pintu tertutup, kita harus mencari yang lain. Dan kakak telah mempraktikkannya sangat baik!". Ashoka tersenyum mendengarnya, "Memang itulah yang diajarkan seorang guru", dia mengingat itu adalah kata-kata ibunya di masa lalu.
Dharma yang tidak mau berbicara dengan Ashoka meminta adiknya agar bertanya. "Wit, tanyakan kepada gurumu, apakah dia bahagia saat dia menyakiti orang-orang senasib demi alasannya sendiri", kata Dharma.
Ashoka kaget mendengar perkataan ibunya. "Bagaimana ibu tahu tentang itu?", tanya Ashoka kepada adiknya .Witashoka hanya menggeleng karena tidak tahu jawabannya.
Dharma beralasan tidak baik bagi mereka sekeluarga masuk ke sudut perhatian orang-orang sekitar.
Ashoka menjawab, "Kehidupan orang-orang yang dalam bahaya. Aku harus menyelamatkan mereka"
Dharma marah kepada Ashoka (sambil berkata kepada adik Ashoka) karena mengambil uang dari tenaga kerja. "Aku tidak tahu dia akan berubah menjadi penghancur (bhakshaka) dan bukan penyelamat (rakshaka) lagi suatu hari"
Dharma berkata kepada putra bungsunya, "Beritahu kakakmu, pintu itu tidak akan pernah terbuka untuknya sekarang". Witashoka memberitahukan hal itu kepada kakaknya dan Ashoka yang mendengarnya setuju lalu pergi.
Witashoka tampak khawatir, "Bu, kakak mau pergi kemana?". Namun Dharma tidak menjawab, dia malah hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Sejenak kemudian Dharma kaget karena melalui lompatan tinggi melewati pagar dinding, Ashoka sudah muncul di halaman. Dharma hanya diam mematung melihat Ashoka ada disitu. Sementara tanpa disadari oleh Dharma, Devi dan Dhaniram terus melihat keluarga itu dari lantai atas.
Witashoka tersenyum bahagia, "Aku takut bahwa kakak mungkin pergi lagi ke suatu tempat dalam kemarahan".
Ashoka menjawab, "Itu tidak akan pernah terjadi!". Dia memberikan mainan gasing untuk adiknya yang membuatnya tambah bahagia.
Ashoka melirik wajah ibunya yang marah. "Ibu bilang pintu tidak akan terbuka untukku, jadi aku mematuhi dengan tidak masuk melalui pintu", kata Ashoka kepada adiknya.
Sang adik menjawab, "Guru (maksudnya kakak Ashoka) sering berkata, saat satu pintu tertutup, kita harus mencari yang lain. Dan kakak telah mempraktikkannya sangat baik!". Ashoka tersenyum mendengarnya, "Memang itulah yang diajarkan seorang guru", dia mengingat itu adalah kata-kata ibunya di masa lalu.
Dharma yang tidak mau berbicara dengan Ashoka meminta adiknya agar bertanya. "Wit, tanyakan kepada gurumu, apakah dia bahagia saat dia menyakiti orang-orang senasib demi alasannya sendiri", kata Dharma.
Ashoka kaget mendengar perkataan ibunya. "Bagaimana ibu tahu tentang itu?", tanya Ashoka kepada adiknya .Witashoka hanya menggeleng karena tidak tahu jawabannya.
Dharma beralasan tidak baik bagi mereka sekeluarga masuk ke sudut perhatian orang-orang sekitar.
Ashoka menjawab, "Kehidupan orang-orang yang dalam bahaya. Aku harus menyelamatkan mereka"
Dharma marah kepada Ashoka (sambil berkata kepada adik Ashoka) karena mengambil uang dari tenaga kerja. "Aku tidak tahu dia akan berubah menjadi penghancur (bhakshaka) dan bukan penyelamat (rakshaka) lagi suatu hari"
Ashoka melangkah menuju bangku yang ada di sudut
halaman. Dia menjawab dengan tegas, "Mereka yang datang kesini tidak
mendapat kesejahteraan apapun. Semua orang tahu mereka harus membayar,
jadi aku menyelamatkan mereka dari bahaya. Aku tidak bisa melakukan
sesuatu dengan gratis lagi. Aku tidak bisa melakukan amal tanpa imbalan
lagi". "Wit, tanyakan kepada ibu, siapa yang datang ke sini dan kemana
dia pergi?", tanya Ashoka bertanya Dharma melalui Witashoka.
Dharma menjawab dengan pertanyaan, "Wit, tanyakan kepadanya apa yang akan dia dapatkan dengan pergi ke sana?", Witashoka belum berkata apapun, namun Ashoka bangkit dengan kasar dari duduknya dan membanting bangku. Sementara Devi dan Dhaniram semakin heran dan terkejut melihat pertengkaran keluarga itu.
Ashoka meminta ibunya agar membiarkan dia pergi ke Pattaliputra sekali saja. "Ibu bahkan tidak membiarkanku menyebut nama dari Pattaliputra lagi". Dia lalu meminta adiknya untuk membuat ibunya mengerti. Namun Dharma dengan tegas menolak mengizinkannya pergi kesana. "Aku hanya akan kembali pulang dengan putraku, bukan dengan Chanda!", kata Dharma.
Devi yang sedari tadi melihat dan menguping pertengkaran itu menyadari bahwa keluarga itu berasal dari tempat atau kerajaan lain. "Apa mereka sedang menyembunyikan sesuatu?", gumannya yang juga menumbuhkan rasa ingin tahu ayahnya yang ikut mengamati.
Melalui Witashoka, Dharma berkata tidak langsung, "Wit, bilang kepadanya, Aku tidak akan pernah membiarkan dia pergi ke sana". Witashoka bermaksud meneruskan kata-kata itu, namun Ashoka malah langsung masuk ke dalam kamarnya. Dalam kemarahannya, dia mendorong pintu kamar dengan kasar.
Sepeninggal Ashoka, Dharma berpikir, "Semakin aku mencoba untuk mencegah dia berubah menjadi chanda (kejam), semakin cepat perubahan itu terjadi".
Dharma hanya bisa berdoa pasrah, "Ya, Tuhan, apa yang Engkau pikirkan tentang putra hamba? Bagaimana dia akan kembali menjadi Ashoka? Tunjukkanlah hamba jalan".
Dharma menjawab dengan pertanyaan, "Wit, tanyakan kepadanya apa yang akan dia dapatkan dengan pergi ke sana?", Witashoka belum berkata apapun, namun Ashoka bangkit dengan kasar dari duduknya dan membanting bangku. Sementara Devi dan Dhaniram semakin heran dan terkejut melihat pertengkaran keluarga itu.
Ashoka meminta ibunya agar membiarkan dia pergi ke Pattaliputra sekali saja. "Ibu bahkan tidak membiarkanku menyebut nama dari Pattaliputra lagi". Dia lalu meminta adiknya untuk membuat ibunya mengerti. Namun Dharma dengan tegas menolak mengizinkannya pergi kesana. "Aku hanya akan kembali pulang dengan putraku, bukan dengan Chanda!", kata Dharma.
Devi yang sedari tadi melihat dan menguping pertengkaran itu menyadari bahwa keluarga itu berasal dari tempat atau kerajaan lain. "Apa mereka sedang menyembunyikan sesuatu?", gumannya yang juga menumbuhkan rasa ingin tahu ayahnya yang ikut mengamati.
Melalui Witashoka, Dharma berkata tidak langsung, "Wit, bilang kepadanya, Aku tidak akan pernah membiarkan dia pergi ke sana". Witashoka bermaksud meneruskan kata-kata itu, namun Ashoka malah langsung masuk ke dalam kamarnya. Dalam kemarahannya, dia mendorong pintu kamar dengan kasar.
Sepeninggal Ashoka, Dharma berpikir, "Semakin aku mencoba untuk mencegah dia berubah menjadi chanda (kejam), semakin cepat perubahan itu terjadi".
Dharma hanya bisa berdoa pasrah, "Ya, Tuhan, apa yang Engkau pikirkan tentang putra hamba? Bagaimana dia akan kembali menjadi Ashoka? Tunjukkanlah hamba jalan".
Masih ditempat yang sama, malam harinya.
Dharma menidurkan putra bungsunya, Witashoka sambil bersenandung. Lagu "Mein Jo Dil Liye Tere Pichche Baghoon" dimainkan dalam adegan ini. Dharma membelai Witashoka agar cepat tertidur, namun sejatinya dia teringat saat menyuapi Ashoka waktu kecil, menyuapi suaminya, Bindushara bersama Ashoka saat masih bahagia di istana Magadha, Pattaliputra. Sambil terus bersenandung, Dharma teringat juga ketika mengobati Ashoka terluka saat saat masih tinggal di dusun.
Sementara Dharma terus bersenandung, dikamar lain Ashoka mondar-mandir dengan marah. Ia gelisah dan memikirkan semua yang terjadi di Pattaliputra yang menyebabkan dia diusir oleh ayahnya sepuluh tahun yang lalu.
Ashoka merasa terganggu oleh senandung yang dinyanyikan Dharma, karena tu dia menutupi kedua telinganya.
Tanpa sengaja, dia membuka peti pakaian yang ada di kamar itu. Ia melihat secarik kain yang ada bekas kaki, Ashoka jadi teringat hinaan Sushima terhadap ibunya saat meninggalkan Pattaliputra. Ashoka lalu pergi keluar kamar, sementara di kamarnya, Dharma yang melihat Witashoka tertidur, mulai menangis entah karena teringat suami atau merenungi nasibnya kini.
Tiba-tiba Dharma mendengar seseorang mengetuk pintu.
Dharma bertanya-tanya dalam hati, "Siapa yang datang pada jam seperti ini?". ,Dharma bertanya dari dalam, "Siapa itu?".
Terdengar suara lelaki menjawab, "Pattaliputra menunggu Anda untuk mendengarkan seruan Jay Janani (hidup Ibu pertiwi)!". Dharma terkejut dengan jawaban itu. Dia segera membuka pintu, ia semakin terkejut melihat panglima Nayaka ada didepan pintu. Dharma mendelik seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
Nayaka mengucapkan salam, "Rani Dharma, salam! semoga Anda bahagia".
Dharma melihat ke arah sosok yang satunya, seorang berpakaian putih dan membawa tongkat. Dia adalah Acharya Radhagupta yang juga datang ke tempat itu. Dharma segera menyapa Acharya Radhagupta
Demi keamanan dan kerahasiaan mereka, Dharma bertanya, "Apakah seseorang melihat kalian datang kesini?"
Nayaka memastikan tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka. "Bahkan Ashoka tidak melihat kami karena kami datang saat dia baru saja pergi".
Devi yang saat itu berjalan di balkon atas kaget melihat Dharma mengajak dua orang masuk ke dalam rumahnya. "Siapa mereka?" batinnya dalam hati.
Dharma menidurkan putra bungsunya, Witashoka sambil bersenandung. Lagu "Mein Jo Dil Liye Tere Pichche Baghoon" dimainkan dalam adegan ini. Dharma membelai Witashoka agar cepat tertidur, namun sejatinya dia teringat saat menyuapi Ashoka waktu kecil, menyuapi suaminya, Bindushara bersama Ashoka saat masih bahagia di istana Magadha, Pattaliputra. Sambil terus bersenandung, Dharma teringat juga ketika mengobati Ashoka terluka saat saat masih tinggal di dusun.
Sementara Dharma terus bersenandung, dikamar lain Ashoka mondar-mandir dengan marah. Ia gelisah dan memikirkan semua yang terjadi di Pattaliputra yang menyebabkan dia diusir oleh ayahnya sepuluh tahun yang lalu.
Ashoka merasa terganggu oleh senandung yang dinyanyikan Dharma, karena tu dia menutupi kedua telinganya.
Tanpa sengaja, dia membuka peti pakaian yang ada di kamar itu. Ia melihat secarik kain yang ada bekas kaki, Ashoka jadi teringat hinaan Sushima terhadap ibunya saat meninggalkan Pattaliputra. Ashoka lalu pergi keluar kamar, sementara di kamarnya, Dharma yang melihat Witashoka tertidur, mulai menangis entah karena teringat suami atau merenungi nasibnya kini.
Tiba-tiba Dharma mendengar seseorang mengetuk pintu.
Dharma bertanya-tanya dalam hati, "Siapa yang datang pada jam seperti ini?". ,Dharma bertanya dari dalam, "Siapa itu?".
Terdengar suara lelaki menjawab, "Pattaliputra menunggu Anda untuk mendengarkan seruan Jay Janani (hidup Ibu pertiwi)!". Dharma terkejut dengan jawaban itu. Dia segera membuka pintu, ia semakin terkejut melihat panglima Nayaka ada didepan pintu. Dharma mendelik seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
Nayaka mengucapkan salam, "Rani Dharma, salam! semoga Anda bahagia".
Dharma melihat ke arah sosok yang satunya, seorang berpakaian putih dan membawa tongkat. Dia adalah Acharya Radhagupta yang juga datang ke tempat itu. Dharma segera menyapa Acharya Radhagupta
Demi keamanan dan kerahasiaan mereka, Dharma bertanya, "Apakah seseorang melihat kalian datang kesini?"
Nayaka memastikan tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka. "Bahkan Ashoka tidak melihat kami karena kami datang saat dia baru saja pergi".
Devi yang saat itu berjalan di balkon atas kaget melihat Dharma mengajak dua orang masuk ke dalam rumahnya. "Siapa mereka?" batinnya dalam hati.
Di ruangan Dharma dalam rumah besar itu, Dharma
berbincang dengan Radhagupta yang duduk, sedangkan Nayaka hanya berdiri.
Dharma bertanya kepada kedua tamunya, "Apa semuanya baik-baik saja?"
Acharya Radhagupta berusaha menjelaskan keadaan keluarga istana saat ini. "Tidak ada orang yang tahu bahwa kalian masih hidup. Mahamatya telah menyebarkan seluruh mata-matanya tapi tidak ada yang berhasil mendapatkan petunjuk tentang keberadaan kalian hingga saat ini, termasuk Sushima. Aku akan memberi Anda kabar bila ada perkembangan".
Nayaka berkata, "Kepada Ashoka, aku telah bersumpah untuk melindungi kalian semua namun aku merasa begitu tak berdaya melihat keadaan kalian seperti ini".
Dharma menjawab, "Aku telah menerima ini sebagai takdir. Kau juga harus menerimanya hanya seperti itu. Kenapa kalian ada di sini ketika tidak ada masalah di Pattaliputra?"
Acharya Radhagupta menjawab, "Kekerasan dan ketidakadilan banyak terjadi pada para warga di Pattaliputra. Ashoka sangat dibutuhkan di sana. Cintanya untuk ibu pertiwi masih sangat tinggi".
Dharma menjawab, "Itu saja tidak cukup. Ada saatnya ketika Ashoka tenang seperti sungai yang akan memberikan kebahagiaan dan kemakmuran bagi orang-orang. Namun hari ini sungai itu hanya tahu bagaimana untuk menghancurkan semuanya. Situasi hanya akan tambah buruk jika ia pergi sekarang!". Nayaka dan Radhagupta hanya bisa saling pandang atas kata-kata Dharma.
Devi yang penuh rasa ingin tahu mulai menuruni tangga ke bawah untuk mengetahui siapa dua orang tamu yang diterima Dharma. Dharma mempersilakan Nayaka dan Radhagupta yang hendak berpamitan. Namun mendadak Dharma teringat sesuatu, "Bagaimana keadaan Bindushara?", tanya Dharma. Dua orang tamunya yang hendak pergi pun membalikkan badan.
Acharya Radhagupta menjawab, "Dia telah menjadi lebih kuat dan tegas dari sebelumnya. Samrat telah berubah menjadi orang yang benar-benar tanpa ampun, kejam, dan tidak mempercayai siapapun hari ini. Dia pasti sangat kesepian". Di tampilkan adegan di istana Magadha, Pattaliputra, bagaimana seorang tahanan kerajaan dirantai, dicambuk dan dipenggal kepalanya oleh Samrat sendiri. Ditampilkan juga bagaimana sosok Bindushara yang berambut panjang, berwajah garang dengan kumis tebal melintang meminta pembangunan benteng istana dan peningkatan keamananan istana kepada para punggawanya di ruang sidang.
Dharma yang kurang nyaman mendengar penjelasan itu berkata, "Aku bertanya tentang suamiku, bukan samrat Magadha, Acharya"
Acharya Radhagupta kembali menjelaskan, "Setiap orang bisa melihat wajahnya yang garang, namun dibalik itu mereka melihat ketidakbahagiaannya suami Anda. Dia pasti sangat merindukan Anda tapi dia tidak pernah mengakuinya karena dia begitu terluka".
Dharma berkata, "Samrat mengalami itu semua, bukankah disana ada Rani Subhrasi. Bagaimana kabarnya?".
Radhagupta menjawab, "Mengenai ibu dari Drupada, dia sekarang senantiasa dalam pelayanan dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan".
Nayaka menambahkan, "Rani Subhrasi sekarang mempunyai kemampuan pawisthe dresta (melihat masa depan) dan menjadi seorang Sadhawi (peramal)". Dharma terkejut mendengar keterangan mengenai Rani Subhrasi.
Kilas balik ditampilkan, dalam kuil istana, di depan lingga Shiwa, didampingi beberapa orang berpakaian putih sambil meminkan alat musik dalam suatu ritual, Rani Shubhrasi memainkan rebab sambil larut dalam nyanyian pujian dengan mata terpejam. Dia lalu membuka matanya, wajahnya berbinar dan berkata, "Dia sangat tenang. Tidak dikenali, tapi waktu akan berubah. Dia akan segera datang! Singgasana menunggunya! Bharata (India) menunggu penyatuan kembali. Ashoka akan mempersatukan Bharata! Waktunya tidak jauh!". Semua kejadian itu disaksikan langsung oleh Acharya Radhagupta, kilas balik berakhir.
Dharma kaget dan takjub mengetahui Shubhrasi telah berubah menjadi Sadhawi (orang yang bisa melihat masa depan dan meramal).
Acharya Radhagupta berusaha menjelaskan keadaan keluarga istana saat ini. "Tidak ada orang yang tahu bahwa kalian masih hidup. Mahamatya telah menyebarkan seluruh mata-matanya tapi tidak ada yang berhasil mendapatkan petunjuk tentang keberadaan kalian hingga saat ini, termasuk Sushima. Aku akan memberi Anda kabar bila ada perkembangan".
Nayaka berkata, "Kepada Ashoka, aku telah bersumpah untuk melindungi kalian semua namun aku merasa begitu tak berdaya melihat keadaan kalian seperti ini".
Dharma menjawab, "Aku telah menerima ini sebagai takdir. Kau juga harus menerimanya hanya seperti itu. Kenapa kalian ada di sini ketika tidak ada masalah di Pattaliputra?"
Acharya Radhagupta menjawab, "Kekerasan dan ketidakadilan banyak terjadi pada para warga di Pattaliputra. Ashoka sangat dibutuhkan di sana. Cintanya untuk ibu pertiwi masih sangat tinggi".
Dharma menjawab, "Itu saja tidak cukup. Ada saatnya ketika Ashoka tenang seperti sungai yang akan memberikan kebahagiaan dan kemakmuran bagi orang-orang. Namun hari ini sungai itu hanya tahu bagaimana untuk menghancurkan semuanya. Situasi hanya akan tambah buruk jika ia pergi sekarang!". Nayaka dan Radhagupta hanya bisa saling pandang atas kata-kata Dharma.
Devi yang penuh rasa ingin tahu mulai menuruni tangga ke bawah untuk mengetahui siapa dua orang tamu yang diterima Dharma. Dharma mempersilakan Nayaka dan Radhagupta yang hendak berpamitan. Namun mendadak Dharma teringat sesuatu, "Bagaimana keadaan Bindushara?", tanya Dharma. Dua orang tamunya yang hendak pergi pun membalikkan badan.
Acharya Radhagupta menjawab, "Dia telah menjadi lebih kuat dan tegas dari sebelumnya. Samrat telah berubah menjadi orang yang benar-benar tanpa ampun, kejam, dan tidak mempercayai siapapun hari ini. Dia pasti sangat kesepian". Di tampilkan adegan di istana Magadha, Pattaliputra, bagaimana seorang tahanan kerajaan dirantai, dicambuk dan dipenggal kepalanya oleh Samrat sendiri. Ditampilkan juga bagaimana sosok Bindushara yang berambut panjang, berwajah garang dengan kumis tebal melintang meminta pembangunan benteng istana dan peningkatan keamananan istana kepada para punggawanya di ruang sidang.
Dharma yang kurang nyaman mendengar penjelasan itu berkata, "Aku bertanya tentang suamiku, bukan samrat Magadha, Acharya"
Acharya Radhagupta kembali menjelaskan, "Setiap orang bisa melihat wajahnya yang garang, namun dibalik itu mereka melihat ketidakbahagiaannya suami Anda. Dia pasti sangat merindukan Anda tapi dia tidak pernah mengakuinya karena dia begitu terluka".
Dharma berkata, "Samrat mengalami itu semua, bukankah disana ada Rani Subhrasi. Bagaimana kabarnya?".
Radhagupta menjawab, "Mengenai ibu dari Drupada, dia sekarang senantiasa dalam pelayanan dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan".
Nayaka menambahkan, "Rani Subhrasi sekarang mempunyai kemampuan pawisthe dresta (melihat masa depan) dan menjadi seorang Sadhawi (peramal)". Dharma terkejut mendengar keterangan mengenai Rani Subhrasi.
Kilas balik ditampilkan, dalam kuil istana, di depan lingga Shiwa, didampingi beberapa orang berpakaian putih sambil meminkan alat musik dalam suatu ritual, Rani Shubhrasi memainkan rebab sambil larut dalam nyanyian pujian dengan mata terpejam. Dia lalu membuka matanya, wajahnya berbinar dan berkata, "Dia sangat tenang. Tidak dikenali, tapi waktu akan berubah. Dia akan segera datang! Singgasana menunggunya! Bharata (India) menunggu penyatuan kembali. Ashoka akan mempersatukan Bharata! Waktunya tidak jauh!". Semua kejadian itu disaksikan langsung oleh Acharya Radhagupta, kilas balik berakhir.
Dharma kaget dan takjub mengetahui Shubhrasi telah berubah menjadi Sadhawi (orang yang bisa melihat masa depan dan meramal).
CUPLIKAN : Mahamatya berkata kepada Sushima yang berdiri bersama
Charumitra. "Aku telah memeriksa setiap kerajaan kecuali Ujjain. Aku
yakin dia (Ashoka) hanya ada disana!", katanya. Sushima tersenyum dengan
informasi itu. Kaurwaki mengetahui Ashoka akan datang ke sebuah bar
tempat minum pada hari ini dari pelayannya. Dalam sebuah bar, tampak
Ashoka sedang minum bersama beberapa orang.b SINOPSIS ASHOKA episode 332 by. Kusuma Rasmana